Sepak Bola Efisien Ala Rene Albert

 

 

 

 

 

Betapapun perihnya, menyakitkan sekaligus mengecewakan, rasanya masih ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari pertandingan Persib vs PSM malam tadi (23/10). Secara fair kita harus mengakui bahwa PSM bermain jauh lebih baik ketimbang Persib. Adu strategi antara Rene Albert dengan Jovo jelas dimenangkan Rene Albert.

Kita tahu bahwa Sepak bola Indonesia punya berbagai anomali dan Rene Albert tahu benar anomali tersebut. Ia bukan hanya mengerti pada ranah teknik, tapi ia juga nampaknya paham budaya dan kebiasaan para pemain di Indonesia. Ia mengerti betul bahwa bermain di kandang lawan niscaya akan dihantam banyak serangan, maka cara menunggu dan mengorganisir pertahanan lebih dipilihnya. Lalu ia tahu ketika skenario berjalan sesuai keinginan lawan itu bukan berarti kekalahan. Ia tidak berdamai dengan pemakluman kekalahan di kandang lawan seperti kebanyakan pelatih. Mengikuti skenario lawan dan menunggu mereka jenuh serta lengah adalah cara yang efisien.

Pola ini yang nampak ketika Rene Albert menangani Arema dan kini, ketika mengarsiteki PSM. Tiga kemenangan tandang di awal liga adalah bukti nyata. Kuncinya Rene Albert mampu membaca frame berpikir lawan dan memutarbalikkan pandangan bahwa tim tuan rumah hampir pasti selalu memang. Pendek kata Rene Albert adalah pelatih cerdas. Lalu, cerdas dalam ukuran seperti apa? Paling tidak, menurut hemat saya, coach Rene cerdas dalam membaca fenomena budaya sepak bola Indonesia dan cerdas dalam menerapkan taktik di lapangan.

Max Webber seorang sosiolog Jerman, mengatakan bahwa untuk memahami fenomena sosial, untuk memahami suatu objek, kita harus menempatkan diri pada cara berpikir si objek sehingga kita bisa memahami mengapa suatu tindakan bisa diambil dan berlaku. Metode ini disebut Verstehen. Sebuah metode untuk memahami. Dan meskipun Rene Albert bukan sosiolog, tetapi ia mampu membaca budaya sepak bola Indonesia. Ia tahu bahwa pemain-pemain Indonesia lemah dalam hal konsentrasi, ia mafhum tim-tim di Indonesia kurang dari segi fisik, ia juga tidak lupa bahwa mind set pemain-pemain Indonesia masih berkutat pada cara membawa bola bukan mengumpan. Tetapi di atas itu semua, ia paham bahwa untuk mencapai kejayaan harus ada antitesis atas kelemahan-kelemahan yang ada, artinya membentuk tim tanpa kelemahan itu.

Untuk mengatasi konsentrasi yang lemah, coach Rene menunjuk kapten yang kharismatik-unggul agar dapat mengingatkan dan memotivasi (Njanka, Odank). Tidak lupa ia selalu menempatkan 1-2 pemain berpengalaman di tiap lini (Njanka, Esteban, Obiora, Goran). Untuk mengatasi kelemahan fisik, ia lebih memilih pemain-pemain muda yang eksplosif , penuh motivasi, dan disiplin (Irfan Raditya, Bustomi, Juan Revi, Mega, Beny Wahyudi, Diva Tarkas, Djayusman, dll). Untuk mengatasi penyakit individualistis, ia meminimalisir penggunaan pemain bintang. Dan untuk mencegah mind set banyak membawa bola, ia mengganti cara bermain dengan banyak memberi umpan. Alhasil jadilah sepakbola efisien ala Rene Albert. Ketika kebanyakan tim telah kelelahan dan buyar konsentrasi, anak asuhan coach Rene masih mampu tampil dengan konsentrasi penuh lalu membalikkan keadaan. Untuk menciptakan hal ini tidak mesti ditopang pemain bintang. Itulah kepandaian membaca fenomena dan mengaplikasikan strategi.

Maka janganlah terlalu heran Arema tahun lalu bisa menjadi juara. Mereka mampu mencetak gol ketika konsentrasi lawan sedang kendur. Mereka mampu memanfaatkan peluang karena mereka mampu menekan individualisme dan mengumpan pada yang tak terjaga. Mereka mampu menjalankan team work kerena mereka bukan mengutamakan membawa bola tapi memperbanyak mengumpan bola. Filosofi mereka membuat bola mendekat bukan memaksa orang untuk mendekati bola. Sebuah cara bermain yang sederhana. Seperti kata Bruce Lee: Simplicity is brilliance.

Adapula beberapa catatan tambahan yang kiranya terlalu berharga untuk diabaikan: gol-gol kemenangan yang dicetak oleh tim yang diasuh Rene Albert, lebih banyak dicetak pada babak kedua, antara menit 60-80 ketika konsentrasi lawan sedang kendur atau terlampau fokus dalam penyerangan. Andai kondisi berimbang, saya kira menit tersebut adalah ”titik jenuh” sebuah tim pada suatu pertandingan. Di saat itu terjadi, Rene Albert begitu piawai mendesain sebuah umpan cepat dalam skema serangan balik. Ketika di Arema, peran ini diemban oleh M. Ridhuan yang notabena punya kemamuan lari di atas rata-rata.

Itulah kiranya yang bisa sedikit-banyak kita renungkan, resapi atas kekalahan Persib malam tadi (23/10). Bukan maksud mengagungkan Rene Albert, tetapi ia mampu membukakan mata kita akan sebuah bentuk sepak bola modern, yang sayangnya belum banyak bisa kita temui di Indonesia.

Adakah kita tergiur dengan gaya Rene Albert? Semoga bisa menjadi pembelajaran (lagi).

 

H.G. Budiman (Bobotoh Persib)

2 thoughts on “Sepak Bola Efisien Ala Rene Albert

  1. yogi berkata:

    alus euy tulisan maneh be. jero. jiga eta. eta jero. haha.
    good job, i like it.

Tinggalkan komentar