Bobotoh, Spiritualitas, dan Kerumunan

Menanggapi sebuah tulisan mengenai Spiritualitas Komunitas Bobotoh yang dimuat di kolom Podium Tribun Jabar pada 23 Oktober 2010, tulisan tersebut  bagi saya cukup menarik karena mengkaji fenomena bobotoh dari persfektif kecerdasan spiritual. Bukan sesuatu yang umum memang, ketika kebanyakan orang cenderung mengaitkan aspek sprititualitas dengan keagamaan.

Jika saya tidak salah tangkap, dalam tulisan tersebut  dikemukakan bahwa  ketika spiritualitas komunitas muncul, maka visi yang ada adalah mewujudkan suatu keharmonisan, mampu menghindarkan kecenderungan destruktif. Singkatnya dengan spiritualitas komunitas, energi yang ada pada bobotoh dapat mewujud menjadi hal-hal positif, baik itu ketika Persib menang atau ketika mengalami kekalahan.

Sungguh andai saja itu dapat terwujud nampaknya Bandung akan bernuansa tentram. Ketika Persib bertanding, masyarakat tak perlu lagi was-was akan anarkisme atau pada tingkah laku yang cenderung mengganggu kenyamanan publik. Namun, sayangnya terminologi spiritualitas komunitas yang mampu membangun sebuah energi positif, bagi saya masih terkesan abstrak. Adakah spiritualitas di sana hanya berupa dorongan jiwa yang mengacu pada kebenaran di ranah hukum dan moral? Ataukah spiritualitas komunitas yang dimaksud semata kesadaran pada nilai-nilai religius?

Ada baiknya kita perjelas kembali makna ”spirit”. Kata spirit berasal dari bahasa latin ”spiritus” yang berarti roh, jiwa, sukma, kesadaran diri, wujud tak berbadan. Beberapa pemikir modern mengartikan spirit sebagai kesadaran yang berkaitan dengan kemampuan, keinginan, dan intelegensi. Adapun spiritualitas bisa berarti sebagai segala bentuk tingkah laku yang didasari oleh spirit, oleh kesadaran diri yang immaterial. Hegel mengemukakan bahwa spirit tertinggi berkaitan dengan nilai agama dan filsafat. Lantas, apakah spiritualitas selalu berkaitaan dengan nilai-nilai religius? Jawabannya  tidak selalu demikian. Abraham Marslow—seorang ahli jiwa—berpendapat bahwa spiritualitas adalah wujud dari aktualisasi diri, di mana seseorang berlimpah dengan kreativitas, intuisi, keceriaan, sukacita, kasih, kedamaian, toleransi, kerendah-hatian, serta memiliki tujuan hidup yang jelas.

Rasanya memang tidak cukup mengupas makna spiritualitas dalam sebuah tulisan pendek, namun yang perlu ditekankan bahwa spiritualitas tidak mesti berakhir dan berhenti dengan penjelasan religius atau keagamaan. Dalam konteks membangun spiritualitas bobotoh, seperti rasa syukur kepada Tuhan atas kemenangan Persib atau keikhlasan dan introspeksi ketika mengalami kekalahan adalah bentuk perilaku spiritual (spiritual behaviors) yang nampaknya masih belum selesai karena hal itu masih berkutat pada ranah batin.

Ketika perilaku spiritual ini berlanjut, idealnya perilaku tersebut dapat berlanjut pada tataran yang lebih praktis dalam hubungan sosial masyrakat. Jika itu bisa terjadi, maka mungkin pelemparan di stadion akan berkurang, ketertiban bobotoh di jalanan bisa meningkat, tidak ada lagi cacimaki pada mobil plat B. Begitupun ketika kemenangan Persib diraih, tidak akan ada hingar-bingar perayaan yang berlebihan hingga mengganggu ketertiban. Dari poin ini, maka spritualitas tidak melulu kesadaran religius-batiniah, namun juga dapat menyentuh pada aktualisasi diri yang sadar akan nilai-nilai etika, moral, dan hukum.

Lalu, yang justru menjadi persoalan adalah bagaimana mungkin sebuah dorongan jiwa yang mulia—sebutlah demikian—seperti spiritualitas dapat mewujud dalam sebuah komunitas yang notabene cenderung bersifat jamak, masif, spontan selayak kerumunan yang tak terstruktur? Apakah tidak terlalu semu? Kiranya kita maklum bahwa ketika orang berada dalam kerumunan, maka mereka akan ”menghilangkan” jati dirinya, dan kemudian menyatu ke dalam jiwa massa.  Kita tahu bahwa nilai-nilai ideal yang mungkin dianggap benar oleh suatu individu tidak mungkin dipaksakan pada suatu kerumunan.

Kita mengerti bahwa dalam sebuah komunitas seperti bobotoh sewajarnya memiliki keberagaman tingkatan intelektual yang tidak serta merta dapat mengerti spiritualitas seperti yang dimaksud di atas. Sederhannya sebuah semangat spritualitas yang positif harus dibentuk dari individu-individu, di mana individu secara otentik belum tercampur dalam kerumunan. Oleh karena itu jika ingin membentuk semangat spiritualitas di kalangan bobotoh, sudah selayaknya dilakukan proses penyadaran terlebih dahulu di tingkatan individu sebelum individu-individu tersebut tercampur pada kerumunan yang cenderung penuh spontanitas (bisa negatif atau positif) dan tidak terkontrol. Pada tahap tersebut diperlukan andil tiap-tiap elemen, terutama media dan para pengurus fans club selaku wadah bernaungnya sebagian besar bobotoh agar bersama-sama membiasakan budaya reflektif untuk menekan semangat konfrontatif  yang justru sudah menjadi penyakit kronis selama ini.

***

P.S: Tulisan ini sejatinya adalah tanggapan dari sebuah opini di Koran Tribun Jabar, namun sayang hingga kini tulisan ini tak dimuat juga, mungkin masih dinilai jelek dan terlalu klise  ^.^

Tinggalkan komentar