Salju Kilimanjaro*

kumpulan cerpen ernest hemingway

Gertrude Stein, seorang modernis terkemuka asal Amerika, memperkenalkan istilah The Lost Generation. Istilah ini mengacu pada para pengarang muda Amerika yang hijrah ke Prancis sehabis Perang Dunia I, termasuk pada dua pengarang kawakan saat itu: Scott Fitzgerald, pengarang The Great Gatsby dan Ernest Hemingway, pengarang The Old Man and The Sea.

Istilah The Lost Generation ini menggambarkan pahit getirnya para pengarang yang dibesarkan selepas goncangan-goncangan Perang Dunia I. Kenyataan di medan perang yang penuh borok membusuk dan kekonyolan membuka mata para pengarang ini pada hal-hal yang tidak tersentuh oleh konsep-konsep heroik dan romantik seperti patriotisme, kepahlawanan, dan pengorbanan (Budianta, 2008: xxvi). Dan Ernest Hemingway kiranya tahu betul nuansa dan rasa kelamnya perang karena ia mengalami langsung beratnya pertempuran dalam Perang Dunia I.

Lewat kumpulan cerpen karya Hemingway yang berjudul Salju Kilimanjaro, sedikit banyak  kita memperoleh gambaran tentang kegersangan hidup yang nyaris tanpa makna, hampa, dan sepi. Nuansa-nuansa itu agaknya begitu akrab bagi Hemingway, pun kumpulan cerita dalam buku Salju Kilimanjaro tidak melulu tentang perang, namun elemen senada yang kelam selalu melekat. Uniknya, meski selalu mengakrabi kegersangan hidup, karya Hemingway dalam kumpulan cerpen ini tidak sekadar menghantarkan pembacanya pada keputusasaan di titik nadir, namun tetap menyisakan seberkas perlawanan di tengah kondisi yang nyaris tanpa harapan.

Manusia bisa dihancurkan, tapi tidak bisa dikalahkan, demikian pesan tersirat dari beberapa cerpen karya Hemingway. Misalnya dalam cerpen yang berjudul Lima Puluh Ribu Dollar, berkisah tentang Jack, seorang petinju yang menghadapi dunia yang penuh permainan kotor, yang melibatkan teman dan lawannya. Sebelum pertandingan melawan musuhnya, Walcott, Jack dibujuk oleh dua orang temannya untuk bertaruh sebesar lima puluh ribu dolar bahwa ia akan kalah. Ternyata, dalam pertandingan Walcott turut bersekongkol, sengaja mengalah agar Jack menang. Jack yang setuju bertaruh demi mendapatkan uang untuk mengunjungi istri dan anaknya yang dirindukannya, tidak mau mundur. Demi limapuluh ribu dollar itu, Jack bertahan membiarkan badannya babak belur, sengaja mengalah, lantas mendapatkan limapuluh ribu dollar. Jack mencapai keinginannya, walaupun secara fisik hancur dan kalah.

Suasana kebatinan yang nyaris sama dapat ditemukan dalam cerpen yang berjudul Kebahagian Hidup Francis Macomber yang Singkat. Berkisah tentang Macomber yang melakukan perburuan di Afrika bersama istrinya, Margaret. Di tengah perburuan, Margaret terpikat oleh sang pemburu pemandu, Wilson yang jauh lebih piawai dalam berburu dan jauh lebih gentleman daripada Macomber. Macomber yang pengecut nyaris tak mampu bangkit dari harga dirinya yang selalu dilecehkan oleh sang istri, sampai suatu hari di tengah perburuan, Macomber mampu menembak jatuh dua ekor banteng dan mendapatkan kepercayaan dirinya kembali. Hubungan Wilson dan Macomber justru menjadi akrab, dan Margaret tersudutkan akan ketidakpantasan perilakunya. Macomber pun di atas angin, ia melakukan perburuan kembali dan berhasil melukai seekor banteng. Di tengah perburuannya terhadap banteng yang terluka dan siap menghantam, Margaret justru menembak Macomber hingga tewas. Macomber mendapatkan apa yang ia ingin, namun nasibnya berakhir dengan tragis.

Beberapa cerpen Hemingway penuh kesan gelap, semisal pertemuan seseorang dengan maut, seperti  yang termuat dalam cerpen yang berjudul Salju Kilimanjaro tentang seorang penulis yang menunggu ajal di puncak gunung Kilimanjaro. Ada pula cerpen yang berjudul Pembunuh Bayaran, tentang seorang pria bernama Ole Anderson yang terbaring pasrah menanti pembunuh bayaran yang akan menghabisi nyawanya. Suasana muram, murung, dan mencekam begitu terasa dalam cerpen-cerpen Hemingway karena gaya penuturan Hemingway yang unik: beberapa kritikus menyebutnya objektif tanpa banyak penjelasan yang bertelele. Tokoh-tokoh dalam cerpen Hemingway seolah bertutur sendiri-sendiri, dan makna serta nuansa justru tertangkap oleh pembaca dari pesan atau kondisi si tokoh secara tersirat. Hemingway tidak pernah menyuguhkan kisah secara gamblang, namun banyak makna yang bisa disingkap. Inilah gaya khas yang hanya dimiliki oleh sang penerima nobel sastra tahun 1954 ini.

Adapun buku kumpulan cerpen Salju Kilimanjaro memuat 9 cerpen terbaik dari Ernest Hemingway, salah satu cerpen yang berjudul Tempat yang Bersih dan Terang pernah diterjemahkan oleh Chairil Anwar. Buku kumpulan Cerpen ini diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia pada 2008.

Hary G. Budiman

*Tulisan dimuat dalam Majalah Mediagram, September 2014.

1 thoughts on “Salju Kilimanjaro*

  1. dini berkata:

    thanks buat infonta, sungguh menarik jadi pengen baca lebih lanjut

Tinggalkan komentar