Musim 2006-2007 Carlo Ancelotti sukses mengantarkan AC Milan merajai Eropa. Pada musim itu kita tahu, Don Carleto mampu merampungkan tranformasi Pirlo menjadi seorang regista. Di musim itu pula, publik sepak bola dunia dibuat berdecak kagum dengan dengan performa Ricardo Kaka muda. Betapa tidak, seorang diri Kaka mampu mengobrak-abrik pertahanan MU, membuat Heinze dan Evra kocar kacir dan saling menabrakkan diri. Pirlo dan Kaka adalah fenomena di periode itu, tapi performa mereka tak akan gemilang jika tak ditopang rekan-rekan setimnya. Uniknya, jika kita insyafi, pemain-pemain AC Milan yang ada di sekililing Kaka dan Pirlo adalah pemain-pemain yang matang jika tak disebut tua. Ada nama-nama macam Maldini, Ambrosini, Costacurta, Seedorf, Cafu, dan Inzaghi. Tak heran Don Carleto sering dikritik karena skuadnya yang kepalang tua. Tapi toh, sejarah bicara dengan caranya sendiri. Tahun 2007 AC Milan meraih gelar Eropa-nya di Olympic Stadium, Athens. Salah satu pemain tua milik Milan, Filipo Inzaghi (saat itu 33 tahun) mencetak dua gol dan didaulat menjadi man of the match.
Ingatan saya akan skuad Milan dibawah asuhan Anceloti, sebetulnya sempat memberi saya refleksi yang tepat dalam menatap skuad Persib di musim ini. Apa pasal? Tak lain karena komposisi pemain Persib yang kondisinya hampir mirip; didominasi oleh pemain-pemain senior dan berpengalaman. Sayangnya, refleksi tersebut mungkin hanya akan menjadi angin lalu. Sejarah selalu punya konteks ruang, waktu, dan manusia. Dan Persib bukan Milan, Ronggo bukan Inzaghi yang dengan bahunya sekalipun bisa bikin gol maha penting ke gawang Reina. Saya dibangunkan atas angan-angan itu ketika Persib dilumat habis PSMS, dua gol tanpa balas. Di kandang sendiri.