Tinjauan Simulakra Sepakbola

Bagi saya, membaca buku terbaru Zen R S, Simulakra Sepakbola, merupakan antusiasme tersendiri. Pasalnya, sudah lumayan lama saya mengagumi tulisan-tulisan Zen, baik yang dimuat di laman Pandit Football, maupun di Detik Sport. Bukan Kebetulan pula, saya mambaca habis Jalan Lain ke Tulehu.

Atas pembacaan tulisan-tulisannya selama ini, saya kira Zen mampu mempertemukan dua hal, yang bagi saya terasa begitu personal. Pertama, Sejarah, karena dengan ilmu ini saya merasa dipupuk dan dibentuk secara intelektual selama kuliah. Kedua, tentu saja sepak bola; karena sejak kecil,bahkan hingga sekarang, sepakbola banyak memberi saya kebahagian, cinta, bahkan indentitas (warga Bandung tak lepas dari Persib). Dengan membaca tulisan-tulisan Zen selama ini, saya pribadi merasa ada keterwakilan perasaan, ada passion yang kuat terhadap sejarah dan sepakbola.

Pada satu titik, kadang saya merasa iri terhadap kekayaan bacaan dan daya tahan dari sang pendiri Pandit Football ini, untuk konsisten berkarya. Bolehlah dalam konteks ini saya masukan faktor ketiga kenapa tulisan Zen terasa jadi begitu personal bagi saya: cita-cita lama saya semasa kuliah untuk membuat tulisan ala Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad dengan topik yang begitu saya cintai; sepakbola. Dan Zen memberi wujud nyata terhadap impian saya itu.

Dengan membaca tulisan-tulisan Zen, sebetulnya secara terselubung, saya mulai menyorot kembali mimpi yang dulu keburu kandas selepas keluar dari dunia kampus. Mungkin dengan kesunyiannya sendiri, saya mulai meraba dan mengamati model tepat penulisan sepakbola supaya terasa nikmat dibaca layaknya karya sastra. Esai-esai Zen merupakan salah satu contoh, yang di masa menguatnya media dunia maya dewasa ini, bisa begitu dinikmati oleh masyarakat.

Tulisan ini merupakan cara saya untuk mengapresiasi Simulakra Sepakbola, sekaligus upaya diri mencoba mencari bara yang masih menyala untuk bisa menulis. Mungkin tulisan ini sebatas tinjauan dan catatan. Meskipun begitu, bagi saya tinjauan Simulakra Sepakbola ini merupakan sebuah pertemuan yang intens untuk setidaknya mencoba menjaring sepercik arus pemikiran penulisnya dan menampung energinya. Hal ini terasa penting karena tulisan-tulisan Zen yang termuat di Pandit Football dan Detik Sport belum sepenuhnya utuh dan terstruktur. Dengan bukunya ini, paling tidak, ada benang merah yang lebih mudah ditarik karena bentuknya yang terkumpul dan tersusun berdasarkan kategorinya tersendiri. Dengan bentuknya yang demikian, akan lebih mudah menilai dan membandingkan antara satu tulisan dengan tulisan lainnya.

kover-buku-zenrsfix-depan-e1466498820579

Struktur Buku

Buku ini disusun ke dalam beberapa bab, pada tiap babnya teradat beberapa tulisan; ada yang berupa esai, ada yang menyerupai reportase, ada pula sekadar catatan-catatan kecil. Semua tulisan dibagi dengan porsi yang berbeda di tiap babnya untuk memberi karakter tersendiri pada empat bab yang disuguhkan, yaitu (1) Jejak, (2) Dunia Simulasi, (3) Koloni Bola, dan (4) Narasi Kaki-kaki.

Bab pertama diberi judul Jejak, isinya lebih berupa kumpulan catatan atau mungkin rekaman peristiwa. Agaknya tak mengherankan jika bab ini diberi judul Jejak karena memang isinya mengacu pada pengalaman pribadi dari empunya tulisan. Pengalaman tersebut boleh jadi penting dalam mengkoneksikan penulisnya dengan dunia sepakbola. Misalnya tulisan berjudul Sepatu Bola Pertama menjadi pembuka yang manis tentang latar belakang sejarah si penulis, di samping mengajak kita-pembacanya-untuk turut mengenang perkenalan kita dengan sepakbola. Esai Di Bench Itu, Jarum Jam Tak Kedengaran Lagi , merupakan tulisan yang paling syahdu di bab ini. Ada satu momen yang ditangkap, dituangkan dengan efisien dan efektif, momen kecil di tengah suka cita Persib juara liga tahun 2014. Membaca esai ini bisa membangkitkan kembali memori kita tentang peristiwa bersejarah 7 November 2014 di Jakabaring. Bagi bobotoh Persib, membaca esai ini dapat menjadi nostalgia yang bisa bikin merinding.

Tulisan lainnya (lebih menyerupai reportase) dengan judul Malam Terang di GBK menggambarkan nuansa yang hampir mirip dengan Di Bench itu, Jarum Jam Tak Kedengaran Lagi, yakni merekam memori menyetadion, khususnya ketika semifinal piala AFF 2010. Bab Jejak sesungguhnya adalah bab yang empirik. Bab ini mungkin bisa dijelaskan sebagaimana sang penulisnya sendiri menerangkan; mencerap sepakbola sebagai sebuah peristiwa-tak-terpermanai (hlm. 67).

Bab kedua dengan judul Dunia Simulasi dapat dilihat dalam konteks sepakbola sebagai sebuah tayangan di era kapitalisme mutakhir. Menonton bola melalui televisi (dengan segala kelebihannya kini) bisa diteropong sebagai fenomena budaya. Di sini lain, Zen sebagai penulis, medudukkan dirinya sebagai pengamat sekaligus pelaku dari laku memirsa itu. Jika pada bab satu sepakbola dirasakan sebagai sebuah pengalaman yang nyata dan lekat, pada bab dua ini, sepakbola dijelaskan dalam jarak (sepakbola luar negeri/sepakbola dalam televisi). Sepakbola di televisi ini ternyata bisa seolah-olah terasa dekat, bisa seolah-olah terasa jauh lebih nyata dari yang nyata sebagaimana dijelaskan dalam esai Simulakra Sepakbola. Pada esainya itu, dengan luwes Zen mempergunakan konsep kajian budaya, seperti konsep simulasi dari Jean Baudrillard.

Beberapa esainya di bab ini, seperti Dan Sepakbola Pun Menjelma Cerita, Hantu Sejarah Bernama Fergie, dan Pragmatisme Sepak Bola, terdapat benang merah yang disusun penulisnya berdasarkan laku memirsa. Di sisi lain, esai-esai tersebut ia buat dalam posisinya (seperti pula kita) sebagai salah satu penghuni Desa Global. Seperti yang dijelaskan Marshall McLuhan, Desa Global adalah analogi dunia di mana informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses oleh semua orang (Piliang, 2010: 161). Bukankah kutipan Zen terhadap surat Louis van Gaal (hlm. 97) dan kutipannya terhadap pernyataan Otto Rehagel tentang sepakbola modern (hlm. 106) adalah hasil dari keterbukaan informasi yang begitu pesat dewasa ini; di mana ruang personal serta peristiwa ribuan mil jauhnya dapat diintip dari balik komputer. Contoh lainnya, seperti penjabaran Zen tentang kebiasaan Giggs selama menjabat manajer interim di United, bagaimana ia memulai konferensi pers pukul 09.30 pagi, merupakan info yang diperoleh atas terbukanya akses. Dengan keterampilan menyusun bahasa, kekayaan bacaan dan kemampuan mengolah informasi, Zen bisa memberi imaji seolah-olah ia hadir di sana, di suatu sudut Old Traffort. Informasi sepakbola di belahan bumi nun jauh itu, ditangan Zen tidak sekadar menjadi berita yang datar, tapi dengan pendekatan berbeda, informasi bisa menjelma menjadi kisah yang menarik.

Atas keterbukaan akses informasi pula, melalui esai Bertukar Tangkap dengan Lepas[1], Zen menjelaskan kekuatan dan problematika bahasa Indonesia ketika dihadapkan dengan banjir istilah asing dalam sepakbola mutakhir. Pada esainya, Zen memberi nafas sejarah yang lumayan panjang tentang Bahasa Indonesia sebagai bentuk nasionalisme awal dan bentuk perlawanan paling mula terhadap kolonialisme modern.

Bab ketiga di buku ini saya kira merupakan bab yang memiliki aroma sejarah paling kuat. Bab dengan judul Koloni Bola didominasi esai-esai serius yang menautkan sepakbola dengan sejarah, politik, serta kekuasaan. Esai-esai pada bab ini menurut hemat saya, bukan sekadar atas dasar laku menonton/memirsa, tetapi atas usaha pembacaan dan penelitian; pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber, sintesis data, dan interpretasi.

Esai berjudul Kolonialisme dari Lapangan Hijau merupakan contoh yang menyiratkan bagaimana metode sejarah dipraktikkan. Sumber-sumber primer Belanda disitir guna menggambarkan politik Pemerintah Hindia Belanda dalam menempatkan sepakbola sebagai alat kontrol sosial. Pada esai ini, Zen juga melacak benih sepakbola di Hindia Belanda melalui pencariannya terhadap sumber, semisal buku 40 Jaar Voetbal in Nederlandsch-Indie: 1893-1933, artikel dalam Rec. Sport. Soccer Stat, surat kabar De Sumatera Post tertanggal 31 Mei 1904, surat kabar Doenia Bergerak tahun 1915, dan Algemene Handelsblad tertanggal 8 Maret 1931. Dengan fasih pula ia memasukan data statistik hasil bumi Hindia Belanda, yang lazim dipakai untuk menunjang kajian sejarah sosial.

Esai lainnya yang berjudul Ketika orang-orang Kiri Indonesia Bermain Sepakbola memiliki energi sejarah yang sama kuatnya dengan esai yang saya ulas sebelumnya. Pada esai ini, Zen mengurai dengan narasi yang lumayan rumit [2] fakta-fakta menarik seputar sepakbola dan hubungannya dengan gerakan kiri Indonesia dalam tiga periode; Pergerakan Nasional, Perang Dunia II (zaman Jepang), dan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Meski lebih banyak menggunakan sumber skunder, secara tersirat kita diberi gambaran betapa penulisnya memiliki kekuatan terhadap bacaan. Esai penutup pada bab 3 dengan judul Plata o Plomo: Paradoks Sepakbola Amerika Latin sekali lagi menegaskan kekuatan bacaan dan kelihaian mensintesiskan data. Menurut penilaian saya pribadi, esai Plata o Plomo merupakan salah satu esai yang paling menarik dan enak dibaca di buku ini. Dengan lincah juga canggih, Zen mampu membingkai fakta-fakta unik tentang sepakbola Amerika Latin dan dunia kriminal yang esentrik ala Pablo Escobar, dalam kerangka realisme magis ala Gabriel Garcia Marguez. Pada titik ini, dengan penggalian yang lumayan mendalam (dengan catatan kaki paling banyak di antara esai lainnya), kita disuguhi sketsa menarik tentang Amerika Latin yang serba kontradiktif itu.

Bab penghujung dengan judul Narasi Kaki-kaki, saya pikir semacam fitur tentang manusia-manusia yang bergerak dalam laju sejarah sepakbola modern, tentang individu-individu yang menjadi simbol zamannya; dari Maradona hingga Messi, dari Totti hingga Torres. Sebagaimana judul babnya, esai-esai di bab ini cenderung lebih ringan dan naratif, lebih menelisik sisi menarik sosok-sosok lapangan hijau. Karena ringannya porsi esai pada bab ini, salah satu tulisan dengan judul Sejarah Traktor[3],, saya sangka sebagai catatan iseng yang terselip di folder widows explorer penulisnya, atau semacam tulisan yang dibuang sayang. Dua esai terakhir; Panduan Cara Indah Menikmati Hidup Buat (Selain) Kita[4] dan Memahami Rumah lebih mirip renungan singkat tentang keindahan hidup dan rumah dalam kacamata sepakbola.

Ketika Sejarawan Menulis Sepakbola

Jika boleh menyimpulkan secara sederhana, Simulakra Sepakbola adalah kumpulan karya yang diolah dengan keterampilan seorang sejarawan (kalau tidak disebut sebagai peneliti sosial). Seperti kita tahu, praktik kerja jurnalistik sebetulnya sudah rampung manakala ia bisa menghadirkan 5 W 1 H ke tengah pembaca. Media masa sepakbola konvensional semacam tabloid Bola, Sportif, Soccer atau media lain yang pernah terbit di negeri ini, biasanya menyuguhkan informasi sepakbola dalam format baku itu (terkadang hanya sampai 5 W). Tulisan-tulisan Zen atau kalau boleh saya betot pada karakter tulisan Pandit Football, menyuguhkan karya jurnalistik dengan cara dan rasa yang agak berbeda. Informasi sepakbola tidak lagi terasa datar sebagai sekadar kabar berita. Esai-esai dalam Simulakra Sepakbola bisa menjadi ruang eksplorasi untuk turut memasukkan rasa pada pembaca, mengukuhkan ikatan batin kita kembali dengan hidup (Kleden, 2004), dalam hal ini dengan sepakbola. Lewat tulisan-tulisannya, Zen bukan hanya membuat pembaca menjadi lebih tahu banyak, tetapi turut mengajak pembacanya memberi makna dibalik suatu peristiwa sepakbola.

Perangkat teknis seorang sejarawan/peneliti begitu cergas dipraktekan Zen. Dalam metode Ilmu sejarah dikenal tahap interpretasi, yaitu penafsiran terhadap data sejarah (Kuntowijoyo, 2005). Wilhelm Dilthey memperkaya praktik interpretasi ini dengan Verstehen, yaitu memadukan analisis psikologi individu dan latar belakang sosial-historis untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam terhadap objek dan konteksnya (Gottschalk, 2008). Cara kerja macam ini agaknya akrab dilakukan oleh penulis Jalan Lain ke Tulehu ini. Dengan perangkat itu, ditunjang dengan kekayaan bacaan, ia bisa membingkai peristiwa menjadi sebuah kisah, atau bahkan menafsirkannya dengan cara yang unik. Contoh paling mudah misalnya cara ia membaca gelagat Giggs selama menjadi caretaker di MU. Giggs berusaha meniru cara-cara Sir Alex. Dalam penafsirannya, Zen melihat usaha Giggs itu sebagai penjabaran atas konsep antikuarian ala Nietzsche, yaitu menjunjung tinggi hal yang dianggap akar identitas yang menjalin masa kini dan masa silam (hlm.101). Contoh lainnya, interpretasi sang esais kelahiran Cirebon ini dalam membaca anomali kepemimpinan Fransisco Franco di Spanyol. Franco yang fasis dan benci separatisme itu, ternyata membiarkan spirit Catalan tetap membara ketika menonton sepakbola di Camp Nou (hlm. 142). Zen menginterpretasikan fakta sejarah itu sebagai kontrol sosial ala Fransisco Franco. Interpretasi semacam ini sering dilakukan dalam esai-esainya. Interpretasi macam ini pula mungkin belum tentu bisa lahir jika penulisnya seorang matematikawan atau ahli kimia.

Ciri umum tulisan-tulisan dalam Simulakra Sepakbola adalah kekayaan bacaan dari penulisnya. Tidak sedikit pustaka yang digunakan untuk mensitir konsep-konsep ilmu sosial. Cara penulisnya mendudukan konsep-konsep ilmu sosial pada esai,selain untuk memberi sudut pandang bisa pula dilihat sebagi gaya dan kekhasan tulisannya. Penggunaan konsep-konsep ilmu sosial itu, bisa pula diterjemahkan sebagai cara dari penulisnya untuk menempatkan pembaca berada pada posisi yang setara dengan empunya tulisan. Secara positif, ini bisa dilihat sebagai ajakan agar pembacanya turut membaca dan mencari tahu, misalnya siapa itu Takashi Shiraishi, Anthony Giddens, Antonio Gramsci, Nietzsche, dan Jean Baudrillard. Sayangnya, Simulakra Sepakbola tidak banyak mencantumkan sumber pustaka[5] agar pembaca bisa melakukan penelusuran lebih jauh. Pada titik ini, Zen sebagai seorang yang tumbuh dengan bekal akademik sejarah, mungkin sedikit silap[6]. Meski demikian, toh Simulakra Sepakbola memang bukan menyasar kalangan akademis, maka ketiadaan sumber rujukan dalam sebuah buku populer adalah hal yang bisa dimaklumi.

Kekuatan lain dari Simulakra Sepakbola adalah kekuatan Bahasa Indonesia. Dapat kita rasakan dengan membaca esai-esai di dalam buku ini, bahwa penulisnya begitu mengkhidmati Bahasa Indonesia dan sastra secara umum. Zen begitu piawai memadupadankan kata dalam kalimat. Saya sendiri menemukan beberapa kata yang nikmat dibaca, misalnya: mengunduh kebahagiaan, segendang-penarian, buang ludah, tak terpermanai. Ia juga tangkas membangun kalimat bermajas, misalnya: hidup bukan bergerak dari waktu ke waktu melainkan dari suasana ke suasana, sepakbola makin sering diringkas menjadi deretan angka dan statistika, saya hanya bisa bermain sepakbola dengan tangan yang mengetikkan huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat… saya menggunakan tangan untuk apa yang sudah terlampau sukar untuk dilakukan dengan kaki. Melalui kalimat-kalimat macam itu, kita dapat merasakan gaya penulisan Zen yang prosais. Di sisi lain, kalimat-kalimat yang ia rangkai terasa begitu mengalir serta sedap dibaca. Terkadang, kalimat yang ia bangun terasa bernada dan berintonasi. Dalam batas-batas tertentu, saya menangkap itonasi atau gaya ala Catatan Pinggir.

Kepandaian Zen dalam mempergunakan bahasa Indonesia dan keterbukaannya terhadap pengaruh sastra agaknya bisa dipahami sebagaimana termuat dalam mukadimah buku ini. Betapa mahakarya tetralogi Pulau Buru-nya Pram telah memberi pengaruh besar dalam kehidupan alumnus UNY ini. Maka, tidak lah mengherankan manakala ia banyak menyebut nama-nama sastrawan besar macam T.S. Eliot, George Orwell, Gabriel Garcia Marquez, dan Albert Camus.

Simulakra Sepakbola dalam Ranah Literasi

Simulakra Sepakbola merupakan sumbangsih yang berarti dalam mengembangkan genre penulisan sepakbola di Indonesia. Padanya itu terdapat semangat untuk mengubah pandangan kebanyakan orang terhadap sepakbola. “Sepakbola demikian diminati dan digilai, tapi agaknya tidak pernah dianggap serius. Purbasangka terhadap aktivitas fisik sebagai hal yang kotor, yang terperam dalam-dalam di khasanah intelektual, memberi andil yang tidak sedikit untuk situasi ini. … Sepakbola dan/atau olahraga dicurigai tak punya sumbangsih apa-apa dalam pertumbuhan suatu kebudayaan dan peradaban. Tidak seperti agama, teknologi, film, sastra, atau seni, misalnya” (hlm. 96). Dalam usahanya, Zen melahirkan esai-esai, di mana sepakbola bisa didudukkan sama seriusnya dengan sejarah. Ia menawarkan kita cakrawala baru; di mana sepakbola bisa sama ilmiahnya dengan ilmu sosial karena padanya dapat dilekatkan pula metode, sumber, data (statistik), kisah, bahkan interpretasi. Kalau boleh sedikit menyerempet, karya Zen pada Simulakra Sepakbola dan karakter tulisan penulis-penulis di Pandit Football, menawarkan hal baru dalam penulisan sepakbola, yaitu tulisan yang dibangun bukan berupa deskriptif semata, tetapi analitis, terkadang begitu kritis. Inilah salah satu faktor mengapa tulisan-tulisan Zen, atau lebih jauh lagi tulisan Pandit Football yang juga dirintis olehnya, bisa begitu digandrungi oleh banyak sekali pembaca.

Simulakra Sepakbola bisa menjadi perwakilan atas semangat baru penulisan sepakbola di negeri ini. Judul Simulakra Sepakbola itu pun saya pikir bisa menjadi metafor tersendiri; betapa penulisan sepakbola masa ini lahir atas laku menonton/memirsa yang ditunjang dengan penelusuran lewat teknologi jaringan kabel. Informasi sepakbola yang jauh pun bisa diperoleh dengan hitungan jari. Maka, tidaklah mengherankan, saat ini mulai bermunculan penulis-penulis sepakbola generasi baru. Hal tersebut dapat terjadi karena akses informasi pun semakin mudah didapat. Meski begitu, saya kira, Zen berdiri kokoh dengan cirinya yang khas sebagaimana saya uraikan sebelumnya.

Jika kita mengecap rasa etnografis dalam esai-esai Darmanto Simaepa, maka Zen R S memberi warna historis dalam esainya. Ia dan beberapa penulis yang mulai mencuat belakangan ini, bisa menambah warna dalam kebangkitan genre penulisan sepakbola baru-baru ini. Barangkali Simulakra Sepakbola bisa menyuguhkan sepercik inspirasi untuk lahirnya karya dari penulis lainnya. Siapa tahu, dalam beberapa tahun ke depan akan muncul tulisan sepakbola dengan pendekatan sosiologi perkotaan, kajian identitas, atau mungkin dengan pendekatan ilmu fisika. Siapa tahu.

Sebagaimana layaknya perkembangan sastra, di sisi lain bangkitnya penulisan sepakbola di negeri ini harus dipupuk dengan iklim kritis penelaahannya. Supaya apa? Supaya penulisan sepakbola bisa bertumbuh secara positif. Selain itu, agar bisa menjadi usaha bersama, sembagaimana yang diupayakan Zen untuk mendudukkan sepakbola dalam ranah yang serius. Seperti pula sastra, seni, dan film, sepakbola pun bagian dari kebudayaan, lahir dari olah pikir dan kreasi manusia.

[1] Judul esai ini diambil dari sebaris frasa puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah

[2] Selain ide utama tentang orang kiri dan sepakbola, agak sulit menemukan ide pokok lainnya yang mengaitkan subjudul ke subjudul. Menurut pembacaan saya, cantolan pemikiran Gramsci tentang manusia bergerak dalam struktur agaknya belum mengikat secara kuat pada uraian esai tersebut.

[3] Setelah saya perlihatkan judul esai ini pada seorang kawan, ia menyangka tulisan Sejarah Traktor ada hubungannya dengan novel A Short History of Tractors in Ukrainian, karangan Marina Lewicka

[4] Dalam esai ini, saya menemukan ciri atau mungkin gaya (kalau tidak disebut sebagai keisengan) Zen dalam membubuhkan sebuah catatan kaki dalam wujud; Ganti kata hidup yang muncul di semua kalimat dalam tulisan di atas dengan kata sepakbola(hlm. 252). Pembubuhan catatan kaki semacam ini pernah saya temukan dalam esai lain yang ditulis Zen, yaitu tentang Albert Camus yang dimuat di detik.com sekitar tahun 2013 atau 2014.

[5] Hanya esai Plata o Plomo: Paradoks Sepakbola Amerika Latin yang paling banyak mencantumkan catatan kaki sebagai bentuk sumber rujukan. Esai lainnya nyaris tidak ada, selain catatan kaki sebagai keterangan tambahan, misalnya sebagai terjemahan bahasa daerah atau asing ke dalam Bahasa Indonesia.

[6] Dalam ciutannya di Twitter, Zen mengungkapkan bahwa teks asli dalam esainya memakai footnote, tetapi karena berkasnya sudah tak bisa ditemukan, jadilah naik cetak tanpa footnote.

Bahan Bacaan

Gottschalk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Terj. Jakarta: UI Press.

Kleden, Ignas. 2004.Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya. Jakarta: Grafiti.

Kuntowijoyo. 2005. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Piliang, Yasraf Amir. 2011. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung: Matahari.

*Hary G. Budiman, pekerja sejarah dan budaya. Bobotoh Persib, tinggal di Bandung. Aktif di twitter dengan akun @hgbudiman (hgbudiman@gmail.com).

1 thoughts on “Tinjauan Simulakra Sepakbola

  1. […] menggambarkan kondisi Indonesia pra-merdeka. Mengutip resensi dari Hary G. Budiman yang berjudul Sebuah Catatan Kecil (2016). “… Pada esainya, Zen memberi nafas sejarah yang lumayan panjang tentang Bahasa […]

Tinggalkan komentar